05 September 2008

..another truly case

Ramadhan hari kelima, sehabis jumatan, dalam ‘pertapaan’ku di KW, tiba2 dengan tergopoh2 seorang bapak usia sekitar 30an masuk membopong anaknya, sejurus kemudian diikuti oleh mamah, paman, bibi, teteh, dll…

What’s up? Pikirku ada yang kejedot lagi sampai berdarah2, ternyata bukan saudara..

Kasusnya adalah diare dah seminggu dengan intake tak terjamin ec. Muntah trus2an…

Ku inspeksi sekilas, wah tangannya sampe jadi kaku, apatis, dan turgor kurang bagus… hmm… dah mulai dehidrasi nih
“wah pak, kok nanti seminggu baru dibawa berobat..?”
“iya dok, kami pikir akan sembuh juga tapi ternyata jadi berkelanjutan…”
“ini harus diinfus, dan untuk penanganan pasien anak, disini kami tak punya wewenang, dan lagian alatnya tidak ada yang untuk anak. Gmn klo bapak ke RS terdekat saja, yang lebih lengkap sarananya”
“kami ini habis dari RS dok, tapi disana tak ada kamar untuk kelas 3, adanya hanya untuk kelas 1, dan kami tak punya biaya, makanya kami bawa kesini untuk pertolongan pertama”
“di UGD juga tidak ditangani? Kalau darurat mah tidak perlu cari kamar dulu pak,”
“hampir 1 jam kami di UGD tidak diapa2kan dok, makanya kami cari tempat lain”

(pikirku, wah … ini kok kasusnya percis dengan ilustrasi kasus yang kemaren2 kami diskusikan klo kuliah ya, ternyata di dunia nyata memang tetap ada …)

“begini saja pak, kami beri rujukan ke RS lain, biar penanganannya lebih cepat. Tadi bapak tidak pakai rujukan kan? Nah, sekarang dengan ada rujukan tentunya akan ditangani darurat dulu, masalah ada kamar atau tidak itu urusan belakang deh, pokoknya adek harus diinfus dulu”
“kami berembuk dulu ya dok”
“silahkan pak, klo bisa jangan lama sebab kita sekarang ini berburu waktu”

15 menit berlalu… kok urun rembuknya belum kelar juga ya? Semua kerabat dan handai tolan tokh sudah lengkap, tak perlu diabsen lagi…

“bagaimana pak? Kasian lho klo kelamaan, semakin lemes nanti, pembuluh darahnya juga jadi susah ketemu klo terlalu kekurangan cairan..”
“apa tak bisa dihubungin dulu di RSnya dok apa ada kamar atau tidak, jangan sampai kami kesana jauh2 tapi diberi jawaban tak ada kamar kecuali yang mahal lagi”

Perawatku nyeletuk, “langsung saja pak, klo ditelepon paling juga mereka bilang tak ada kamar atau disuruh langsung datang ke UGD”

“iya pak, kesana saja sekarang, perjalanannya juga makan waktu pula, jangan sampai semakin terlambat jadinya”

(dalam hati aku sudah ngedumel, dan hampir ngomong jika saja RS X trsebut tidak mau menangani lapor sama saya … hehe, rewa banget …)

10 menit berlalu lagi dalam suasana musyawarah tuk mencapai mufakat…

“baiklah dok, terimakasih atas bantuannya”
“iya pak, sama2…”

Aku pun lalu balik ke ‘sarang’, mau sholat …

After that, perawatku melaporkan “dok, tadi itu anak sepertinya gak dibawa ke RS deh tapi dibawa pulang ke rumah”

“lha kok, bukannya tapi sudah sepakat ke RS?”
“tadinya dok, tapi ternyata surat2nya tidak jelas, jadi mereka tidak mau ke RS takutnya ditolak karena alasan administrasi”

“ ………………………..”

Begitu ya? Padahal andai saja begini kondisinya dan kami memang punya kateter iv-nya, barangkali bisa jadi aku nekat memasangnya, meski resikonya cukup besar

Dari kompetensiku tentu tak bisa, dan dari segi hukumnya, t4 ini tidak boleh (itulah gunanya informed concent hehe)

Waduh, aku merasa betul2 patah hati … mau diapakan itu anak di rumah? Intake oral hampir tak mungkin sebab senantiasa muntah, mau diasapi, didoakan? Bukannya aku menafikan arti doa, tapi doa tanpa upaya, persentasinya berapa? Astaghfirullah … ini Ramadhan, bulan penuh berkah, semoga saja ada mukjizat …

Tidak ada komentar: